Ranting

[bagian 3]

Oleh: Nafisah FB

Sarji terkesiap. Untung menghentikan aksinya mendadak. Mereka perlahan melihat ke arah yang sama. Pak Mandor ternyata telah berdiri bertolak pinggang dengan telunjuk kirinya menuju mereka.

Sarji gemetar. Ikatan ranting ditangannya ikut bersuara. Untung menjatuhkan kapak kecilnya ke tanah dan segera meluncurkan tubuhnya dari atas pohon bumi.

“Lari!” teriak Untung. Tangannya meraih tangan Sarji.

Ikatan ranting terlepas seiring ranting yang terhempas. Sarji tidak sengaja melakukan. Refleks. Tangannya yang satu tidak kuat memeluk ranting saat tangannya yang lain ditarik Untung. Kaki-kakinya berlari mengikuti jejak lari Untung.

“Tung! Kayu bakarku!” teriak Sarji panik.

Sarji menoleh ke arah ranting … ke arah Pak Mandor yang masih mengejar mereka.

“Hei! Pencuri kecil! Jangan lari kalian!” teriak Pak Mandor semakin garang.

Untung terus berlari. Sarji pun ikut mempercepat lajunya.

Duk! Kaki Untung terantuk batang pohon sisa penebangan yang rebah melintang. Tubuhnya terjerembab di atas tanah yang basah. Lututnya berdarah. Dia hanya meringis sebentar. Sarji menarik tangannya, memaksanya berdiri lagi. Mereka berlari lagi.

Mereka lari. Pak Mandor masih mengikuti.

Lari. Lari.

Mereka berusaha semakin cepat. Kaki-kaki mungil Sarji menerobos semak berduri. Cras!

Darah. Perih? Sarji tidak rasakan. Sarji tidak peduli. Dia hanya ingin dirinya dan Untung bisa terus berlari.

oooOooo

“Lastri! Lastri!”

Lastri tergopoh-gopoh menghampiri suara Pakde Danu. Darahnya seketika dirasakannya berhenti. Tubuhnya dingin.

Di dalam gendongan Firman dilihatnya tubuh lemah Sarji. Kaos lusuh bocah itu basah oleh keringat. Wajahnya kumal oleh bersitan tanah. Kedua kakinya penuh dengan goresan darah.

“Ya, Allah, Le! Mas, kenapa Tole bisa begini?!” pekik Lastri tidak mampu lagi menahan diri. Bude Tarsih memegangi bahunya.

Firman tidak bersuara. Dia segera menuju dalam rumah, membawa Sarji ke kamarnya.

Kerumunan tetangga yang hendak masuk dicegah oleh Ngatno dan Pakde Danu.

“Sederek-sederek, saya mohon pengertiannya! Jangan masuk dulu! Biar Pak Mantri yang tangani!” teriak Ngatno.

Mereka gaduh.

“Hei, mana tadi Pak Mantri?!” Suara Pakde Danu terdengar di halaman depan.

Pak Mantri muncul. Dia dibantu Pakde Danu menyeruak kerumunan. Mereka lalu berjalan cepat ke dalam.

oooOooo

Sarji telah diobati. Dia tertidur.

Pak Mantri segera pergi menuju rumah Untung yang hanya beberapa rumah jaraknya. Dia ingin mengecek kondisi Untung. Zainal, anaknya yang mahasiswa kedokteran sedang berada di sana memberikan pertolongan pertama.

Lastri perlahan duduk di sisi tempat tidur. Tangisnya belum reda.

“Le … iki Emak, Le ….” Hanya itu yang bisa dilirihkannya disela tangisnya.

Firman menghampiri Lastri. Dia berdiri di sisi Lastri, menggenggam bahu istrinya … menguatkannya.

Matanya nanar memandangi tubuh lemah Sarji.  Airmata dirasakan panas menghentak kelopak matanya.

Masih jelas di ingatannya obrolan antara Pakde Danu dan Ngatno siang tadi. Masih diingatnya hentakan tangan Ngatno di atas surat kabar itu. Masih terngiang di telinganya suara Pakde Danu yang membaca isi headline surat kabar itu.

“Mr. Adek Lin Ter Alis divonis bebas dari dakwaan illegal logging setelah hakim menilai semua berkas dan penjelasan para saksi tidak cukup menjadi bukti dakwaan.”

“Sampah!”  Jerit batin Firman sekuat tenaga.

Mulutnya tetap terkatup. Air mata yang akhirnya menyuratkan kepedihan rasanya. Airmata yang dia yakin bukan hanya milik Lastri dan dirinya. Kepedihan yang dia yakin bukan hanya dirasakan Lastri dan dirinya. Pun mereka yang telah mengumpulkan ranting demi perut mereka. Pun mereka yang mengais rejeki halal demi keberkahan dalam kemiskinan mereka.

Di seberang renungan Firman, Sarji masih tertidur. Nyaman … tanpa beban. [Selesai]

Tinggalkan komentar