Salahnya Demokrasi

Jejak edisi 02/Januari 2008

Pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka yang masih pro-demokrasi adalah; apakah demokrasi memberikan kebebasan? Kebebasan seperti apa yang didefinisikan oleh demokrasi? Apakah kebebasan itu mutlak atau relatif? Pada kondisi apa kebebasan boleh mutlak dan pada kondisi apa kebebasan menjadi relatif? Apakah demokrasi memiliki kejelasan konsep dan tanpa bisa dimultitafsirkan oleh para penggagas dan pejuang demokrasi itu sendiri?

Sebenarnya masih banyak pertanyaan lainnya yang mendekam dengan sangat gelisah di benak. Tapi, rasa-rasanya cukup pertanyaan di atas yang wajib dijawab dengan gamblang.

Bagaimana menurut para aktivis pro-demokrasi? Tak bisa menjawab? Mari, kita lihat fakta. Fakta bahwa demokrasi menjanjikan kebebasan, itu benar. Dalam konsep demokrasi orang bebas berbuat apa saja jika hal itu menjadi kesukaannya, pilihannya–termasuk merampas kebebasan orang lain. Meski selalu diwanti-wanti agar tidak melanggar hak orang lain dengan aturan klise bak peringatan larangan merokok yang tertera di iklan dan kemasan pembungkus rokok. Faktanya, tindak kriminal yang melanggar hak orang lain tumbuh subur mencapai puncaknya dalam sistem demokrasi.

Meski digembar-gemborkan bahwa kebebasan adalah segalanya, tetap saja sejatinya tak mungkin bebas sama sekali. Itulah yang dialami demokrasi. Sistem ini berada dalam dilema akut dan bertentangan dengan keinginan pejuang dan pembelanya sendiri. Hasilnya, kebebasan menjadi relatif alias tidak mutlak dan maknanya sarat dengan kepentingan si pelaksana dan pengambil kebijakan. Contoh, Amerika selalu mencekokkan demokrasi kepada negara mana pun. Namun bersamaan dengan itu, penguasa negeri Uncle Sam ini melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan negara lain dengan melakukan invasi militer, seperti ke Irak dan Afghanistan. Akibat lanjutnya, demokrasi menjadi multitafsir bagi siapa pun termasuk pejuangnya sendiri. Demokrasi kian jelas terlihat bobroknya dengan ketidakjelasan konsepnya.

Indonesia, negeri yang menerapkan demokrasi sejak kelahirannya memberikan banyak kebebasan, termasuk memberi celah kebebasan untuk memisahkan diri dari negeri ini. Bukti sudah nyata. Atas nama demokrasi Papua ingin merdeka, Maluku minta pisah, dan Aceh kembali gelisah minta ‘cerai’ dari negeri ini. Ya, inilah salahnya demokrasi. Jalan sesat yang dipilih pemimpin negeri ini. Itu sebabnya, kini saatnya menjadikan Islam sebagai jalan hidup kita untuk mengeliminasi demokrasi. [rahadi]

Tinggalkan komentar